DEMI CELURIT EMAK

karya: Kurniadi
SISWA SMAN 1 GIRIMARTO

Sudah lama kulihat mata emak mulai pudar. Emak yang sehari-hari bekerja pembuat caping ditambah petani dadakan ketika bulir padi menguning seakan menjadi darah dalam dagingnya. Tubuh kurus, alis yang teriris dan tangan mengepis tak lagi mampu mencukupi hidup kami. Emak hanya bias duduk bersila dan menyusun sayatan bambu tuk membentuk caping.

Aku hidup hanya dengan seorang emak, bapakku yang tertangkap basah mencuri kabel tower sehingga hidup dalam jeruji besi. Disusul lagi kakak-kakakku yang gila karena wanita dan sekarang entah kemana mereka berada. Aku yang berumur 15 tahun telah menjadi tulang punggung keluarga ini. Sekolah, jalan satu-satunya aku bahagiakan emak. Dengan itu, aku inggin memberi luka bahagia sebelum emak menutup mata.

Pagi itu, rumah dipenuhi keranjang gaplek. Baris demi baris keranjang tersusun rapi seperti tentara yang mau perang. Baunya yang sudah siap dijual seakan memenuhi udara di rumah kecil ini. Emak masih tergeletak di tikar di temani caping buatannya. Memang emak hanya menyisakan barangkali 3 jam untuk tidur. Ia sering keasikan akan pekerjaannya. Lagi pula emak tak pernah bosan dengan pekerjaan. Emak pernah menjadi tukang rosok, pentambang pasir dan pembantu rumah tangga. Semuanya di jalani penuh dengan ketelatenan.

 Harumnya bau gaplek membuat gelora di hatiku. Ku inggat akan pesan guruku waktu itu.
“pekerjaan itu gak harus disuruh”
Perkataan guruku seakan menyuruhku untuk menjual gaplek tersebut. Ku pegang gaplek itu. Ku tekan dan ku dekatkan dengan hidung.
“dah bagus ni tuk ku jual” omongku di hati.

Seperti biasa ku tak pernah bilang emak, jika akan menjual sesuatu. Kadang emak tak mau direpotkan oleh tindakanku. Dulu pernah, saat ku jual pakaian bapak untuk membelikan beras. Emak merangkulku dan meneteskan air mata. Emak berkata
“dit, emak gak mau kamu repot-repot. seharusnya emak yang cari uang untuk beli berasnya. Kamu masih kecil gak pantes beliin emak beras,”
   Jadi aku pergi menyelinap di embun putih, ketika emak masih tergeletak dan tertidur. Gerobak tua di pinggir gerajen pak ahmad menjadi tujuan. Sudah banyak warga tahu kalo gerobak itu milikku, hanya saja pekarangan emak tak cukup tuk menyimpan gerobak itu. Perlahan ku dorong gerobak itu menuju rumah. Seakan ada bisikan yang mengingatkanku saat bersama bapak.

*********

Bapak biasanya mendorong gerobak itu menyusuri jalan-jalan di kampung. Pupuk, pakan kandang dan kayu-kayu gerajen selalu terisi di gerobak. Kadang-kadang aku pun juga diajak bapak berkeliling. Berada di dalam gerobak rasanya senang dan menghapus perasaan resah di hati. Jika bapak telah lelah mendorong, bapak memberhentikan di kandang peternakan ayam milik temannya. Betapa bangganya aku, dapat di gendong dan di peluk bapak sambil melihat anak ayam di kandang. Bapak sebenarnya orang baik hanya saja dulu bapak di ajak temannya yang sering kupanggil pakde mul untuk mengambil kabel yang tertanam dibawah tower. Hal itu pun diketahui warga, yang akhirnya mereka babak belur ditangan warga. Mata bapak yang merah dan bekas luka di wajah yang membiru membuat getir hatiku apalagi emak. Emak yang melihat kejadian langsung, shock berat dan akhirnya tak dapat berjalan kembali seperti dulu. Dari  semua itu, Pekerjaan bapak seperti mengurusi sawah, lading dan memelihara kambing diambil alih oleh emak. Namun karena terbatasnya kemampuan, emak tak sanggup mengolah semuanya. Sawah dijual, ladang digadaikan dan kambing di olah menjadi makanan sehari-hari. Keluargaku yang dulunya kecukupan sekarang penuh dengan tantangan.

**********

Suara ayam dan auman motor menambah eloknya mentari terbit. Keranjang demi keranjang kumasukkan ke dalam gerobak. Emak yang masih tertidur memberi pancaran semangat baru diriku. Ku ucapkan “bismillahirohman nirohim,” dalam hati.

Ku gerakan gotri-gotrinya, melewati gang kecil menerobos embun dinggin di kampung. Sambil bernyanyi kuamati sekitar jalan. Nafasku terasa tersendat ketika kuamati ekor hitam di gerbang rumah berwarna biru. Detak jantung mulai mengeras. Tangan dan kaki hanyut dalam keresahan. Gerobak seakan bergetar mengikuti alunan detak jantung. Langkahku mulai bergerak kecil. Anjing berwarna hitam dengan bercak putih keluar. kepalanya yang mengarah kepadaku dengan taring yang tajam dan lidah menjulur seperti melihat mangsa membuat pikirku kemana-mana. Namun semuanya hilang ketika terhias dalam pikirku wajah emak. Takut, kini berubah menjadi berani .
“brek..brek…brek….”
kulewati anjing itu dengan langkah tegap layaknya sang anggota TNI yang sedang berjalan. Diiringgi komat kamitku dalam hati
ojo ngacar…ojo ngacar…..,”
Ku bisa lewati anjing itu.
“alhamdulilah” ucapku dengan rasa lega.


Namun  setelah kulewati anjing itu sekitar 5 meter.
“guk..guk…guk, “anjing mengaung.
Dengan perasaan takut, ku lihat arah belakang. Anjing telah lari dengan cakar yang tersinar di kakinya. Tanpa pikir panjang, ku tancapkan gas. Layaknya film need four speed yang ku lihat di rumah iwat. Teman yang selalu memberi goncengan saat berangkat sekolah.
“kabur…..” jeritku dengan lantang.

Namun apes telah menantiku. Perempatan didepan sudah terlihat, gerobakku masih melaju dengan cepat. Saat melewati perempatan.
“glaaaaaar……” sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam menabrak gerobakku.
Gerobak berisi gaplek terguling setelah sepeda menabraknya. Tak luput motor yang terpental menambah tragisnya kecelakaan.

Pecahan kaca spion motor tercacar dimana-mana. Satu diantaranya menacap di kakiku. Perih rasanya. Pecahan kaca yang berbentuk segitiga tertancap bagaikan pedang menancap tanah. Mataku melihat pengendara itu tergeletak di pinggir trotoal dan bangkit. Ia menggotong ke tepi jalan.

Denyut nadi seakan gemocang ketika pecahan kaca di kakiku dicabut olehnya. Darah bercucuran.
“aw……aw….aduuuuh…” ceritku.
“tenang dik, jangan takut. Nanti kalo gak di cabut malah bahaya,” ungkap pengendara itu.
Kerumunan orang mendekatiku. Ada yang membawa obat luka, air, dan perban. Perlahan kakiku dibersihkan dan diteteskan obat luka. Namun darah masih saja keluar. Akhirnya kakiku di perban.

Dengan kaki yang masih meneteskan darah ku banggun dan kuambil gerobak itu. Kukumpulkan kembali gaplek-gaplek yang tercecer.
“aku tak mau emak kecewa,” ucapku dalam hati.
Kuteruskan langkahku, dan kutulikan telingaku dari orang yang menolongku.
“dik, kakinya masih berdarah. Jangan berjalan dulu …..!!!!” seru orang itu.
Namun semua itu tak menyurutkan niatku.

Walaupun kakiku berjalan terpincang-pincang, akhirnya kusampai di tempat pengumpulan gaplek. Keranjang demi keranjang kuturunkan dan kutumpuk di depan gerbang.
“bang, ni tolong di timbang” ungkapku disana.
Gaplek-gaplek itu kemudian  di timbang dan hasilnya tidak mengecewakan. emak memang sangat telaten dalam memilih singkong yang mau ia jual. Pembeli pun sangat senang setiap gaplek yang dijual emak..

Setelah puluhan uang rupiah di berikan, aku kembali pulang kerumah. Kuteteskan air mata menahan perihnya kakiku. sambil menuntun gerobak mataku terarah pada pasar di dekat tempat pengumpulan gaplek.  Ku inggat  permintaan emak, ketika duduk bersama di tikar.
“dit, nanti kalo gapleknya dijual. Emak tolong di belikan celurit agar emak lebih mudah menyayati bambu-bambunya,” ungkap emak dengan penuh keharapan.
Kata itu membuat langkahku terbelokkan ke pasar. Emak ku belikan celurit dengan motif tumbuhan di gagang nya. Walaupun darah di kakiku terus menetes ku tetap menahannya.

Terhias kembali peristiwa kecelakaan tadi saat melewati perempatan itu. Ku cepatkan langkahku menuju rumah.
“ku inggin emak bangga dengan ku” ucapku dalam hati.
Ku langkahkan satu demi satu kaki di jalan. Namun,Terlihat dari kejauhan kerumunan orang menutupi segala ruang di rumah kecilku. Ku lihat bendera kuning terpasang di tiang listrik. Jajaran kursi-kursi telah tertata di depan jalan rumahku. Saat ku mendekati,  puluhan mata memandang. Degup jantungku mengeraskan pikiran. Dengan kaki terseok-seok ku dekati rumah, para tetangga memelukku.
“sabarnya dit,”sambil menangis tersedu-sedu
Ku tak tahu mengapa mereka meneteskan air mata. Menangis tersedu-sedu.

Ku langkahkan kakiku kedalam rumah . Emak terbaring di atas meja panjang. Meja yang sering di pakai untuk orang meninggal. Ku lihat wajah pucat emak. Kapas memenuhi hidung dan telingga emak. Hatiku tak kuat melihatnya. Ku tak percaya jika emak meninggal. Bukah hanya meninggalkan diriku tetapi juga kenangan bersama diriku. Tetesan air mata memenuhi pipiku. Celurit yang ku bawa sebagai tanda pengabdian terakhir. Ku ambrukkan badanku lalu merangkul dan mencium emak tuk terakhir kali. “emak………………………………….”


Comments
0 Comments

0 komentar: